#CERPEN : TEKA-TEKI

“TEKA TEKI”

Mereka bilang, demi mendapatkan sesuatu, kita harus berani kehilangan apa yang sebelumnya menjadi milik kita. Tapi tidak pernah terbayangkan olehku, bahwa aku akan kehilanganmu.

Barangkali cinta juga bisa kadaluwarsa, barangkali cinta juga ada habisnya.

.

.

Waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari ketika Wahyu membuka layar ponselnya. Sebuah pesan muncul dari seseorang yang sudah menjadi kekasihnya selama hampir tujuh tahun, Rani. Pesan itu ia terima pukul 21.00 malam, namun baru sempat ia buka sekarang.

Maaf, Mas Wahyu. Kita putus.

Tangan pemuda yang kini berusia 29 tahun itu bergetar, mungkin karena membaca pesan itu, atau karena ia telah bekerja lembur selama lebih dari 17 jam hari itu. Tenggorokannya tercekat dan tanpa menunggu lebih lama, Wahyu berusaha menghubungi kekasihnya itu melalui aplikasi chatting yang sama. Hasilnya nihil. Juga dengan pesan-pesan yang Wahyu kirimkan setelahnya tidak ada yang terkirim.

Maksud kamu apa, Rani?

Besar kemungkinan nomor Wahyu telah diblokir oleh Rani. Tapi pemuda itu pantang menyerah ketika ia masih berusaha menghubungi nomor ponsel Rani menggunakan panggilan reguler. Dari belasan panggilan yang ia coba, tidak ada yang tersambung. Jika saja, jika, mereka berada dalam satu kota, Wahyu tentu akan segera beranjak dari tempat kerjanya dan mendatangi rumah Rani untuk meminta penjelasan atas keputusannya yang tiba-tiba. Tapi saat ini, Wahyu tinggal di Jakarta dan Rani di Surabaya.

.

.

Tiga hari setelah mengajukan cuti untuk pulang ke kampung halamannya, barulah Wahyu bisa berangkat ke Surabaya, kota kelahirannya. Ia bisa saja mengajukan cuti sakit keesokan harinya setelah menerima pesan dari Rani, tapi Wahyu tidak suka berbohong dan ia juga harus menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu.

Selama hampir lima tahun ini, Wahyu, pemuda berperawakan tinggi dengan warna kulit sawo matang, menghabiskan waktunya untuk mengadu nasib di Jakarta. Bermula ketika ia mendaftar pekerjaan di sebuah perusahaan asing di Surabaya, ia kemudian mendapatkan promosi untuk jabatan yang lebih tinggi di kota metropolitan itu. Awalnya Wahyu ragu, terlahir sebagai anak tunggal ia harus meninggalkan orang tuanya, juga meninggalkan Rani yang sudah dua tahun itu menjadi kekasihnya. Tapi setelah menimbang lebih lanjut dan demi masa depan pikirnya, Wahyu menerima tawaran itu.

Menjalani hubungan jarak jauh bukanlah hal yang mudah. Terlebih ketika Wahyu adalah tipe orang yang begitu ia fokus pada pekerjaannya, maka akan sulit baginya untuk membagi waktu dengan hal lain, termasuk berkomunikasi dengan Rani. Wahyu yang setiap hari harus bekerja lembur hingga tengah malam tidak mampu bermultitasking dan menjaga hubungan dengan Rani pada saat yang bersamaan. Berulang kali permasalahan itu menjadi cek cok di antara mereka, tapi Wahyu selalu berhasil meyakinkan Rani bahwa ini semua ia lakukan demi masa depan mereka. Yang tidak Wahyu sadari pada saat itu adalah bagaimana permasalahan itu nyatanya menjadi bom waktu bagi hubungan mereka.

Pagi setelah Wahyu menerima pesan singkat dari Rani mengenai berakhirnya hubungan mereka, pemuda itu sempat menghubungi orang tua Rani. Tapi keluarga itu sepertinya juga tidak ingin berhubungan dengannya lagi.

“Kamu kenapa nggak minta jemput di Bandara tadi? Ibu juga nggak tahu kalo kamu mau pulang hari ini.” Adalah komentar Ibu ketika Wahyu memasuki rumah siang itu.

“Wahyu mau ke rumah Rani dulu, Bu.” Setelah mencium tangan Ibunya dan meletakkan sedikit barang bawaannya, tanpa menunggu Ayahnya pulang dari tempat kerja, Wahyu buru-buru melaksanakan tujuan utamanya.

Perjalanan menuju rumah Rani memakan waktu kurang lebih 30 menit dengan mengendarai angkutan umum. Itu pun, Wahyu masih harus menyewa jasa tukang ojek untuk membawanya sampai ke depan rumah Rani. Dan ketika pemuda itu sampai di depan halaman rumah kekasihnya itu, keadaan tampak lengang.

“Permisi.”

Selama hampir lima menit, tidak ada yang datang menyambut Wahyu hingga muncul Ibu Rani dengan raut muka terkejut.

“Selamat siang, Bu. Apa kabar? Ini Wahyu.” Dan entah kenapa, setelah tujuh tahun hubungan mereka, meskipun Wahyu yakin Ibu Rani mengenalinya, Wahyu merasa perlu untuk menyebutkan namanya.

“Ibu sehat. Kamu kapan pulang?”

“Rani ada, Bu?” Wahyu tidak ingin berbasa-basi lebih lama lagi. Toh dari raut muka Ibu Rani tadi, Wahyu yakin wanita itu tidak nyaman dengan kedatangannya.

Ibu Rani terdiam sejenak dan menawarkan senyum simpul pada Wahyu. “Sebentar, ya.”

Kemudian wanita itu masuk ke dalam rumah tanpa mempersilahkan Wahyu yang masih berdiri di depan teras rumahnya. Hampir sepuluh menit Wahyu menunggu dan akhirnya orang yang ia tunggu muncul di hadapannya.

“Ada apa, mas Wahyu?” Tanya Rani yang hari itu mengenakan kaos lengan pendek dan celana selutut. Rambutnya yang sebelumnya panjang tergerai telah ia pangkas hingga sebahu.

“Betul itu kamu yang mengirimkan whatsapp  ke mas Wahyu kalo kita putus?” Wahyu ingin memastikan sekali lagi bahwa apa yang ia baca tiga hari yang lalu adalah betul dari Rani. Hingga saat ini ia masih tidak percaya.

Rani hanya mengangguk tanpa memandang pemuda di hadapannya.

“Kenapa?” Tanya Wahyu lagi. Tentu ada alasannya kan?

Rani menjilat bibirnya. Sebuah kebiasaan ketika ia sedang berpikir.

“Aku pengen kita putus aja.” Kedua tangan Rani kemudian terlipat di dada.

Wahyu masih menginginkan sebuah alasan, apapun itu dari mulut Rani sebelum merelakan hubungan yang sudah mereka jalin selama tujuh tahun terputus begitu saja.

“Aku udah nggak cinta sama mas Wahyu.” Kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Rani, kekasih Wahyu yang berusia dua tahun lebih muda darinya.

“Kenapa, Rani? Mas Wahyu ada salah sama kamu?”

Wahyu masih ingin mengejar, apapun itu.

“Mas Wahyu nggak salah apa-apa. Rani emang udah nggak cinta sama mas Wahyu.”

“Tapi kenapa, Rani?” Wahyu masih tidak mengerti. “Kenapa tiba-tiba seperti ini?”

Rani menghela nafas. “Mas Wahyu nggak sadar kan? Mas Wahyu pikir aku bakalan nunggu mas Wahyu terus? Perasaan manusia juga bisa berubah, mas. Aku udah sabar selama tujuh tahun ini, tapi nggak bisa lebih lama lagi.”

“Kamu ketemu sama orang lain?” Tandas Wahyu.

“Maksud mas Wahyu aku selingkuh? Ini nggak ada hubungannya sama orang lain, mas. Ini murni perasaan aku sama mas Wahyu. Maaf Rani nggak bisa sama mas Wahyu lagi.”

Wahyu masih mencerna kalimat-kalimat yang Rani ucapkan padanya ketika wanita itu memutuskan untuk masuk ke dalam rumah tanpa berkata apapun lagi. Bahkan ketika Wahyu sudah pulang ke rumah orang tuanya lagi, ia masih belum bisa menyimpulkan apapun.

Bulan depan Wahyu dipromosikan untuk jabatan yang lebih tinggi di kantornya. Setelah promosi itu selesai, Wahyu berniat untuk melamar Rani dan menikahinya. Hal itukah yang Rani tunggu? Pernikahan?

Wahyu banyak mendengar dari kolega wanita di kantornya, bagaimana mereka menunggu kekasih mereka untuk segera melamar dan menikahi mereka. Tapi tidak terpikirkan olehnya bahwa Rani akan merasakan hal yang sama, menunggu. Wahyu pikir cinta mereka tidak seperti orang lain kebanyakan, yang harus segera menikah untuk melanjutkan rasa cintanya, seperti rasa cinta itu kemudian akan menguar jika tidak diikat dengan pernikahan. Dada Wahyu sesak. Apakah memang seperti itu?

Dan jika perasaan manusia bisa berubah, kenapa perasaannya tidak?

.

END

.kurntia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *