Surat ini aku tujukan untuk diriku di masa depan…
Entah masa depan itu nanti, esok, lusa atau berwindu-windu mendatang.
Hai, aku yang ada di masa depan. Jadi apa kamu sekarang? Apapun dirimu di sana, aku harap akhirnya kamu merasa ‘cukup’, karena ketika aku berharap kamu ‘bahagia’, kata itu tidak akan ada selesainya. Seperti ketika aku menuliskan surat ini, ‘bahagia’ menurutku masih menjadi sebuah bentuk abstrak dan seberapa keras pun aku berusaha mengejarnya, yang ada ia justru semakin berlari menjauh. Kamu pasti akan berkata ‘Bodoh! Kebahagiaan mana bisa kau kejar, kau sendiri yang menciptakannya!”. Jika kamu masih bisa berpikir dan berkata seperti itu, betapa beruntungnya kamu, wahai diri. Mungkin otakku yang sekarang memang sedang kacau dan berkabut, aku tidak sanggup berpikiran seperti dirimu.
Surat ini aku tujukan untuk diriku di masa depan…
Sebagai bukti bahwa hingga hari ini aku masih bertahan, untuk aku, kita.
My love, ketahuilah bahwa aku yang sekarang, yang merupakan bagian dari masa lalumu ini telah berjuang sekuat tenaga untuk tetap ada, agar kamu ada. Ketika kamu mengingat-ingatnya lagi, barangkali kamu akan berpikir ‘Halah cuma kayak gitu aja!’. See how strong I made you!. Tapi untuk sekarang ini, percayalah bahwa aku sedang berperang dan aku merasa akan kalah sewaktu-waktu. Maka ketika kamu membaca surat ini di seberang sana, entah di tahun berapa, anggaplah bahwa kita telah menang. Kamu sepatutnya bangga padaku.
Surat ini aku tujukan untuk diriku di masa depan…
Agar ia memaafkan diriku yang sekarang.
Hey, you. Terima kasih telah bertahan. Pada saat kamu membaca surat ini di masa depan dan masih merasakan luka, maka dengan tulus aku meminta maaf atas apapun yang telah aku perbuat. Yakinlah bahwa aku tidak pernah bermaksud untuk menyakiti dan meninggalkan luka padamu. Aku melakukannya demi kamu, demi kita yang lebih baik. Maka mengertilah dan maafkan aku.
Dengan cinta,
.kurntia.