APARTEMEN NOMOR 07

Bulan Oktober tahun ini, hujan tak henti-hentinya turun di kota Kurk. Hampir setiap hari jalanan basah terendam air hujan. Payung, genangan air, orang-orang yang berlarian kecil menghindari hujan adalah pemandangan yang paling sering ditemui kala itu. Tidak berbeda halnya dengan keadaan seorang laki-laki yang saat ini sedang terlihat berjalan tergesa memasuki sebuah gedung dengan mantel hitamnya yang sudah basah. Tangan kanannya memegang sebuah tas jinjing berwarna senada sementara tangan kirinya sibuk merogoh saku celananya untuk meraih sesuatu dari sana. Gel yang ia pakai di rambutnya sudah bercampur dengan air hujan yang membasahi rambut hitamnya.

Laki-laki itu menunjukkan sebuah kartu identitas pada resepsionis gedung itu sebelum petugas mengizinkannya masuk. Benjamin Kings. Laki-laki berusia 36 tahun itu masuk ke dalam sebuah lift dan menekan tombol nomor 4. Sesekali ia akan menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jemarinya untuk membuatnya lebih rapi. Begitu pintu lift terbuka di lantai 4, Benjamin melangkahkan kakinya ke luar dan menyusuri koridor yang tampak lengang itu. Laki-laki berperawakan tubuh tinggi dengan bahu tegap itu berhenti di sebuah pintu bernomor 07. Ia membuka tas jinjingnya dan meraih sebuah kunci. Di bagian ujung kunci itu tampak sebuah noda karat. Namun ketika Benjamin memasangkan kunci itu dan memutarnya, bunyi ‘klik’ menandakan bahwa benda itu masih berfungsi.

Apartemen nomor 07 adalah sebuah tempat di mana Benjamin pernah tinggal untuk sementara waktu. Tempat itu berdesain minimalis dengan corak cat berwarna putih. Beberapa propertinya masih utuh dan diselimuti kain putih untuk mencegahnya agar tidak kotor. Bau pengap tak bisa dihindari mengingat ventilasi udara yang tidak bisa terbuka setiap waktu. Benjamin menyalakan sebuah Air Purifier sambil berdoa alat itu masih bisa bekerja.

Benjamin melepas mantel yang ia pakai dan menggantungnya di balik pintu masuk tadi. Tas jinjing yang beberapa saat lalu tidak pernah lepas dari tangannya ia letakkan di meja ruang tamu. Ia kemudian melonggarkan dasinya. Hari ini adalah sebuah keberuntungan karena ia bisa keluar dari kantor lebih cepat dari biasanya. Menjadi seorang karyawan dari sebuah perusahaan otomotif terbesar di kota Kurk itu membuat jadwal kerjanya menjadi super sibuk dan sulit untuk membuat celah seperti ini.

Tiba-tiba saja mata Benjamin yang sedari tadi sibuk memperhatikan keadaan di sekeliling apartemen itu tertuju pada sebuah telepon kabelnya yang masih tersambung di jaringan. Ia memang sudah lama tidak menempati apartemen itu, tetapi setiap bulannya ia memastikan bahwa semua tagihan atas apartemen itu masih ia penuhi. Benjamin menekan sebuah tombol pada benda itu dan menemukan beberapa pesan suara terekam di dalamnya. Tombol lain ia tekan agar pesan suara itu berputar otomatis dan memperdengarkan isinya satu per satu.

Hening selama beberapa waktu sebelum akhirnya terdengar suara seseorang berdehem dari dalam rekaman pesan suara itu.

 “Halo…”

Suara itu terjeda.

“…Ben, ini aku.”

Benjamin yang tengah melepas kancing lengan kemejanya berhenti. Matanya kembali menatap pesawat telepon itu. Suara yang keluar dari pesawat telepon itu membuat bulu halus di tubuhnya berdiri.

Suara itu terdengar menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan.

“Aku tahu pesan ini akan masuk ke dalam Voice Mailmu yang entah kapan akan kau buka—dengar. Aku bahkan tidak yakin kalau kau akan kembali ke apartemen itu.”

Jeda lagi.

Hujan masih mengguyur di luar. Tirai putih yang menutupi jendela kaca apartemen itu ia singkap. Awan hitam semakin menggelayut dan membuat siang itu terlihat suram.

“Apa kabar, Ben?”

Benjamin menarik satu per satu kain putih yang menutupi furnitur yang mengisi apartemen itu. Dekorasinya masih sama seperti ketika terakhir kali ia meninggalkannya. Pesan suara itu tak kunjung berlanjut, namun tak lama kemudian muncul bunyi ‘beep’ satu kali sebelum pesan suara kedua terdengar.

“Halo, lagi.” Suara itu memulai.

Kali ini Benjamin duduk di salah satu sofa yang ada di ruangan itu, tidak peduli jika debunya menempel di celananya yang basah, tapi ia benar-benar butuh duduk.

“Selamat ulang tahun, Ben. Apa aku perlu menyebutkan tahun berapa sekarang?”

“Uh, kalau aku tidak salah hitung, hari ini usiamu sudah 33 tahun. Kau sudah tua sekali.”

Tawa renyah dari rekaman pesan suara itu menggema, memenuhi setiap sudut ruangan apartemen itu dengan suaranya. Laki-laki itu melipat kedua lengannya di dada dan memejamkan matanya. Gambaran wajah si pemilik tawa renyah itu masih segar bagi ingatan Ben—nama panggilan untuk Benjamin.

Pagi sebelum ia berangkat kerja tadi, Ben mendapatkan sms dari tunangannya yang meminta agar ia segera menyiapkan apartemen yang akan mereka tinggali bersama bulan depan. Maka hari ini Ben memutuskan untuk mengunjungi kembali apartemen yang sudah lama ia tinggalkan, ketika ia justru menemukan beberapa pesan suara yang seharusnya tidak ia hiraukan.

Suara ‘beep’ lain kembali terdengar dan pesan suara ketiga muncul. Kali ini terdengar isakan kecil sebelum suara khas itu terdengar.

“Kau mungkin berpikir kalau sekarang aku sudah menjadi seorang psikopat.”

Benjamin sadar betul bahwa saat ini ia sedang membuang-buang waktunya dengan mendengarkan pesan suara itu, tapi entah kenapa ia seperti tidak memiliki daya untuk menghentikannya. Bahkan untuk sekadar mencabut kabel teleponnya.

“Aku sedang mengingat-ingat kembali ketika kita masih tinggal bersama. Aku tiba-tiba berpikir bahwa seandainya sejak awal kita tahu akan seperti ini jadinya, apa dulu kau akan menolak untuk tinggal bersamaku?”

Benjamin bangkit dari tempat duduknya. Kali ini ia bertekad untuk menghentikan rangkaian pesan suara itu. Ben sudah akan mencabut kabel telepon ketika suara itu menyahut kembali.

“Aku merindukanmu.”

Tubuh Benjamin membeku. Keadaan di apartemen itu masih gelap, lampu-lampunya masih belum sempat dinyalakan. Itu hanyalah sebuah pesan suara, tetapi Ben tidak menyangka bahwa ia akan terpengaruh.

Beep.’ Pesan suara keempat.

“Apakah sudah terlambat jika aku meminta maaf sekarang? Ini sudah bertahun-tahun sejak kita berpisah dan aku seharusnya tidak menghubungimu lagi. Tapi aku merasa bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan yang aku miliki.”

Ben masih tetap berdiri di tempatnya.

“Aku minta maaf, Ben.”

Benjamin mendengus.

“Aku tahu kau akan mendengus begitu mendengarnya. Tapi aku benar-benar meminta maaf atas semuanya. Maaf karena menyakitimu dengan meninggalkanmu begitu saja.”

Kilat yang baru saja mengerjap dari langit memantul pada sebuah cincin perak yang melingkar di jari manis Ben.

“Aku sadar bahwa permintaan maaf ini tidak akan mengubah apapun di antara kita, aku hanya perlu mengatakannya.”

Agar membuatmu merasa lebih baik. Pikir Ben pahit.

Stacy Kim adalah kekasih pertama yang Ben anggap serius ketika usianya menginjak 26 tahun. Gadis itu dua tahun lebih muda darinya. Mereka bertemu ketika sama-sama bekerja menjadi karyawan di sebuah perusahaan periklanan. Setelah menjalin hubungan selama tiga tahun, mereka memutuskan untuk tinggal bersama di apartemen milik Ben. Keputusan itu mereka buat demi menghemat uang dan juga waktu, di mana apartemen itu hanya berjarak beberapa kilometer dari tempat kerja mereka.

Stacy adalah seorang gadis yang manis, meskipun mulutnya sering kali mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Mungkin Ben adalah satu dari ke sekian laki-laki yang dapat bertahan dengan mulut tajam Stacy dan merebut hatinya, tapi hingga mereka memutuskan untuk berpisah, Ben tidak pernah berhasil untuk memenangkan egonya.

“Semoga kau bahagia.”

Beep. Stacy mengakhiri pesan suaranya.

Mungkin maksudmu adalah semoga kau sama menderitanya denganku. Ben mengoreksi kalimat terakhir Stacy.

Ben akhirnya dapat menguasai tubuhnya lagi dan berniat untuk segera menarik kabel teleponnya. Di layar pesawat telepon itu tertulis 29 Agustus 2013, tanggal di mana pesan terakhir itu diterima.

Ben menghela nafas dan menarik kabel teleponnya hingga benda itu mati total. Laki-laki itu melihat ke arah sekelilingnya sekali lagi, menyegarkan kembali ingatannya yang sebenarnya masih belum banyak berubah. Pada tanggal 30 Agustus 2013, Ben menerima kabar bahwa Stacy meninggal dunia karena kecelakaan.

Ben tidak pernah menyesali hubungannya dengan Stacy atau cara mereka berpisah yang benar-benar membuatnya hancur. Stacy dan hubungan mereka dulu adalah pelajaran baginya.

Hari ini, tanggal 18 Oktober 2016 ketika Benjamin datang dan berniat untuk menempati apartemen itu dengan tunangannya. Namun laki-laki itu memutuskan untuk mengurungkan niatnya dan membereskan kembali apartemen itu. Mungkin memang sebaiknya apartemen nomor 07 itu tetap terkunci dan menyimpan segala kenangan miliknya bersama Stacy di dalamnya.

END

Dengan cinta,

.kurntia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *