1000 Bangau Kertas

‘Bagaimana kau bisa selalu se-positif itu?’ adalah ungkapan yang sering kali aku dengar dari orang-orang di sekitarku. Entah sebenarnya hal itu bermakna sebuah kekaguman, keheranan atau sarkasme yang tidak aku mengerti. Tapi ungkapan itu memang bermula karena sikap dan pikiranku yang selalu positif—optimis. Apapun hal buruk atau negatif yang terjadi padaku dan di sekelilingku, aku akan selalu berhasil menemukan hal positif yang bisa aku pikirkan di baliknya.

Seperti bagaimana ketika hujan tiba-tiba turun pada sebuah pagi sementara aku harus berangkat ke kantor segera. Jalanan menjadi semakin macet dan berlumpur. Sebagian orang akan mengeluh karenanya. Hari itu pun aku sudah menyiapkan sepatu hak tinggiku seperti biasa. Namun karena aku berangkat ke kantor dengan naik bus dan jarak halte dari tempat tinggalku cukup jauh, aku merasa konyol jika nantinya sepatu hak tinggiku itu akan menjadi petaka di tengah jalan. Entah aku yang tergelincir atau sepatuku yang menjadi kotor hingga sampai di kantor nanti. Maka aku pikir hujan di pagi hari ini adalah kesempatan yang diberikan padaku untuk akhirnya menggunakan sepasang sepatu boots hujan yang aku beli hanya karena sedang diskon waktu itu. Benda itu sudah tersimpan selama beberapa bulan di dalam lemari dan belum pernah sama sekali aku gunakan. Hari itu aku menapaki jalan di hari berhujan dengan  tangan kiri menenteng kantung berisi sepatu hak tinggi dan sebuah payung di tangan kananku.

Atau bagaimana ketika aku mengirimkan pesan singkat pada kekasihku setiap aku sudah sampai di kantor. Pesan singkat berisi ucapan selamat pagi itu akan terkirim dalam waktu singkat, namun balasannya akan datang dua atau tiga jam kemudian. Kadang-kadang aku juga akan menerimanya pada saat jam makan siang. Aku tahu dia pasti sedang sibuk dan hal-hal seperti itu juga tidak terlalu penting. Keduanya adalah alasan yang selalu aku pikirkan mengenainya. Ketika teman-temanku mengetahuinya, mereka akan mengatakan aku bodoh atau naif dan bukan lagi seseorang yang berpikir positif. Tapi bagiku memikirkan hal yang negatif tentangnya atau merasa curiga padanya begitu menguras tenaga. Aku sudah lelah dengan pekerjaanku dan tidak ingin membebani diri dengan sesuatu yang tidak perlu. Aku percaya padanya dan hal itu adalah yang terpenting. Atau kurasa begitu…

.

.

.

Pria yang aku sebut kekasih itu bernama Kora. Usianya dua tahun di atasku. Kami bekerja dalam satu perusahaan, tapi berada di departemen yang berbeda. Gedung kantor kami pun terpisah dari satu sama lain. Hanya berjarak beberapa kilometer memang, tapi tetap saja, berjarak. Hubungan kami ini baru berjalan selama beberapa bulan meskipun kami sudah mengenal beberapa tahun sejak kami bertemu di acara gathering kantor waktu itu.

Tidak seperti penampilannya yang ramah dan hangat pada siapa pun, Kora sebenarnya adalah seseorang yang tertutup. Ia akan bercerita banyak hal padaku setiap kami bertemu. Entah mengenai pengalamannya, masa kecilnya, atau hal-hal yang disukainya dan tidak, tapi aku selalu merasa ada sesuatu yang hilang dalam ceritanya itu. Ia juga akan selalu tersenyum sepanjang waktu, tapi senyumannya itu tidak pernah mencapai matanya. Mungkin hanya penilaianku yang salah. Aku percaya tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini dan barangkali sisi tertutup Kora adalah kekurangannya yang tidak ingin ia tunjukkan pada siapa pun, termasuk aku.

Orang-orang mengatakan tidak perlu alasan untuk jatuh cinta atau menyukai seseorang. Tapi bagiku rasanya seperti omong kosong jika kita tiba-tiba menyukai seseorang begitu saja. Aku mulai menyukai Kora ketika kami harus terlibat dalam proyek yang sama selama beberapa bulan. Karena tuntutan pekerjaan itu, akhirnya kami lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Saat itu, Kora terlihat seperti sosok pemimpin yang bisa diandalkan. Ia tahu apa yang diinginkannya dan bagaimana mendapatkannya. Ia juga pandai dalam mengatur teman-teman dalam satu timnya untuk menyelesaikan proyek dengan hasil yang terbaik. Aku sempat kebingungan dengan perasaanku sendiri waktu itu. Apakah aku benar-benar menyukainya seperti seorang perempuan menyukai laki-laki, atau aku sebenarnya hanya kagum padanya seperti seorang karyawan pada atasannya. Tapi Kora berhasil meyakinkanku ketika ia mengutarakan perasaannya pada sebuah sore. Proyek kami akhirnya selesai dan aku mengatakan ‘ya’ begitu saja tanpa mempertimbangkannya lagi.

.

.

.

Pukul 12.00 siang adalah waktunya istirahat bagi para karyawan. Tidak seperti teman-temanku yang lain di mana mereka akan segera menuju kantin atau tempat makan di luar kantor, sudah hampir dua Minggu ini aku menghabiskan jam makan siangku di dalam ruangan. Aku menarik laci mejaku dan mengeluarkan sebungkus roti.

“Kamu diet?” Tanya seorang teman satu ruanganku sambil menikmati sekotak makan siang yang ia bawa dari rumah. Aku terlalu pemalas untuk melakukan hal yang sama.

Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaannya.

“Sibuk.” Kataku kemudian setelah menelan roti di dalam mulutku.

Tidak sampai sepuluh menit mengisi perut dengan sebungkus roti itu, aku kemudian membuka laci mejaku yang lain dan mengeluarkan sebungkus kertas origami. Namun bunyi ponsel yang menandakan adanya pesan masuk membuat perhatianku teralih.

Sudah makan siang? Aku baru saja menyelesaikan meeting dan akan pergi makan siang dengan Ervin.

Aku tanpa sadar tersenyum membaca pesan dari Kora. Setidaknya ia masih sempat membalas pesanku tadi kan? Aku kemudian menghabiskan beberapa menit untuk memikirkan balasan untuknya, tapi akhirnya menyerah dengan sebuah kalimat.

Have a nice lunch 🙂

Hubungan kami mungkin terlihat seklise itu. Kami hanya akan bertukar pesan beberapa kali saja dalam satu hari, tapi bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengobrol jika kami sudah bertatap muka. Kora akan selalu mempunyai banyak cerita dan aku akan dengan senang hati mendengarkannya. Aku pikir memang begitulah seharusnya. Kami tidak perlu membuang-buang energi, pikiran dan waktu untuk membahas sesuatu lewat pesan jika kami bisa membicarakannya saat bertemu langsung.

Aku meletakkan ponselku dan meraih tumpukan kertas origami tadi. Aku mengambil satu lembar dan mulai melipatnya hingga membentuk burung Bangau. Ini adalah kegiatanku selama dua Minggu terakhir pada jam makan siang. Aku juga akan melakukannya di rumah hingga larut malam. Aku pernah membaca di internet bahwa ada sebuah legenda dari Jepang yang menyatakan jika siapa pun berhasil melipat kertas-kertas menjadi seribu bangau, maka satu permohonannya akan terkabul. Aku bahkan akan mengulur-ulur waktu untuk sekadar mencuci baju atau menghapus make up ku sepulang kerja, tapi aku dengan senang hati akan melakukan hal-hal yang kebanyakan orang anggap konyol seperti ini.

Sudah ada 990 burung bangau kertas di rumah, aku hanya perlu menyelesaikan 10 kertas lagi. Permohonanku ini sederhana dan bahkan bisa dibilang aku sebenarnya sudah memilikinya. Tapi seperti manusia lain pun, aku juga seseorang yang tamak—rakus. Setelah memiliki apa yang ku inginkan, aku pun menginginkan lebih.

Dengan seribu bangau kertas itu, aku ingin permohonanku ini terkabul. Aku ingin Kora menjadi lebih terbuka padaku. Aku ingin mengetahui segala hal tentangnya. Aku ingin melihat bagian dari dirinya yang selama ini ia tutupi.

Aku sebenarnya bisa saja mengatakan permohonan ini padanya secara langsung, tapi mungkin hasilnya tidak akan terkabul seperti apa yang aku inginkan. Bagaimana kalau aku justru mengacaukannya—hubungan ini.

.

.

.

Bagaimana kalau kita bertemu sore ini? Kau ada waktu?

Pagi itu aku mengirimi Kora pesan seperti biasa, tapi isinya berbeda. Seribu bangau kertas telah berhasil aku lipat. Aku mengumpulkannya dalam sebuah kardus dan mengambil fotonya sebelum berangkat kerja tadi. Aku tidak berniat untuk menunjukkannya pada Kora, tentu saja. Apa yang akan pria itu pikirkan jika melihatnya? ‘Gadis ini gila’ atau ‘Gadis ini bodoh’. Tapi Kora tidak akan pernah memandang remeh orang lain seperti itu. Aku mungkin akan memperlihatkan foto ini pada Kora jika permohonanku sudah benar-benar terkabul. Karena hal itu juga, aku hari ini mengajak Kora bertemu. Aku ingin membuktikannya secara langsung mengenai legenda ini. Toh jika tidak langsung terkabul hari ini, aku masih bisa menunggu hingga beberapa waktu lamanya, selama aku masih bersama Kora.

Tidak seperti biasanya, hari itu Kora langsung membalas pesan singkatku. Hatiku berdebar membacanya.

Tentu. Kita bertemu di tempat biasa?

Aku mengetik kata ‘oke’ untuk membalas pesannya. Jika Kora membalas pesanku secara langsung seperti ini, kemungkinan nanti siang ia tidak akan mengirimkan pesan apapun. Tapi kami kan juga akan bertemu sepulang kerja nanti. Aku meletakkan ponselku dan bersiap untuk mulai bekerja.

Selain karena aku yang selalu berpikir positif, sepertinya juga memang tidak ada yang perlu dicurigai dari Kora. Aku tahu betul tentang hal itu—kurasa. Kora menghabiskan sebagian besar waktunya di kantor. Aku juga mengenal teman-teman Kora di sana. Pada jam makan siang pun, Kora biasanya akan pergi makan siang bersama Ervin, sahabatnya—yang juga aku kenal ketika kami berada dalam proyek waktu itu. Bisa dibilang mereka berdua ini sudah seperti anak kembar. Di mana ada Kora, di situ akan ada Ervin. Kecuali ketika aku dan Kora sedang bersama, tentu saja. Selain itu, Kora juga tinggal dengan kedua orang tuanya. Aku sudah mengenal mereka dengan baik dan kupikir Ibu Kora justru lebih menyayangi aku dibanding putra tunggalnya itu. Beliau akan langsung mengirimi aku pesan jika ia merasa ada yang aneh dengan Kora. Seperti ketika Kora lembur kerja tanpa memberitahunya waktu itu. Ibu Kora berpikir anaknya sedang menemui wanita lain. Aku kemudian merasa yakin, jika Kora melakukan hal yang aneh, Ibunya itu akan memberitahuku—kan?

.

.

.

Jam kerjaku selesai pada pukul 16.00. Aku memeriksa ponselku dan menerima sebuah pesan dari Kora. Ia mengatakan bahwa ada yang harus diselesaikan sebelum ia pulang sehingga kemungkinan ia akan terlambat datang di tempat kami biasa bertemu. Aku meyakinkannya bahwa aku tidak keberatan untuk menunggu sebelum aku sendiri mengemasi barang-barangku. Tapi tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepalaku. Bagaimana jika aku memberikan sedikit kejutan dengan pergi ke kantornya sehingga aku tidak perlu menunggu di Cafe sendirian. Aku segera bergegas keluar dari kantor dan menghentikan sebuah taksi. Tidak lagi terpikirkan olehku apakah aku nanti justru akan mengganggunya atau apa. Aku hanya merasa bahwa ini adalah hal yang tepat—sesuatu yang seharusnya sudah aku lakukan sejak lama.

Tidak sampai sepuluh menit, aku sekarang sudah turun dari taksi dan berdiri di depan kantor di mana Kora bekerja. Dengan nametag yang masih aku kenakan, aku tidak perlu mengisi buku tamu dan memberitahukan Kora kedatanganku. Toh sebagian besar karyawan di sana sudah mengenalku dan mengetahui hubungan kami. Yang tidak aku pikirkan adalah keberadaan Kora pada saat itu. Pekerjaannya tidak hanya duduk di sebuah meja kubik sepertiku.

“Mencari Kora? Dia baru saja keluar bersama Ervin.” Kata salah seorang teman satu ruangan Kora yang kebetulan belum pulang ketika aku melongok ke dalam ruangannya.

Aku mengucapkan terima kasih sebelum meraih ponselku. Ini bukan lagi kejutan jika Kora sudah meninggalkan kantor dan kami tidak sempat berpapasan. Namun belum sempat aku mengetikkan pesan pada kekasihku itu, aku mendengar dua orang yang berbicara dari sebuah ruangan di sudut koridor gedung kantor itu. Karena bentuk bangunannya sama dengan gedung kantorku, aku bisa menebak jika tempat itu adalah ruangan khusus merokok bagi karyawan. Tempatnya terhubung langsung dengan balkon di lantai tiga. Dengan pintu kaca di depannya, orang-orang yang berlalu lalang di koridor itu bisa melihat siapa saja yang sedang berada di ruangan merokok itu atau berdiri di balkonnya.

Aku melihat Kora dan Ervin berdiri di balkon dengan memunggungi pintu masuk waktu itu. Sebatang rokok menyala terselip di antara jari mereka masing-masing. Aku tersenyum lega ketika tidak perlu menghubungi Kora untuk menemukannya. Namun yang kemudian membuat aku memicingkan mata dan berusaha memperjelas fokus pandanganku waktu itu adalah bagaimana kedua pria itu berinteraksi. Mereka hanya mengobrol, dengan gurauan di sana sini, aku tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka obrolkan atau tertawakan, tapi aku bisa mendengar dan melihat mereka.

Aku berusaha membuat skenario tentang apa yang aku lihat saat ini. Aku kerahkan semua energi positif yang tersisa di tubuhku untuk menghalangi pikiran negatif yang sudah berkumpul untuk menyerangku. Mereka bersahabat dan apa yang mereka lakukan sekarang adalah wajar. Tapi Ervin sedang merapikan anak rambut di dahi Kora yang diterpa angin sore itu. Senyuman tergambar jelas di wajah keduanya. Kora tidak pernah menampilkan senyuman itu di hadapanku sebelumnya. Kora tidak hanya tersenyum dengan bibirnya, tapi senyuman itu juga menyentuh matanya. Yang menyedihkan lagi adalah bagaimana aku berharap jika Kora bisa memandangku seperti ketika ia memandang Ervin saat ini.

Apakah seribu bangau kertas itu sedang mengabulkan permohonanku? Apakah benar secepat ini? Aku yang tidak tahan lagi kemudian berjalan menjauh. Bahkan dari mata seseorang yang terkenal karena selalu berpikiran positif seperti ku, tidak ada dugaan positif yang tepat bagi mereka. Ini juga merupakan pertama kalinya bagiku ketika aku tidak bisa menarik kesimpulan yang bisa menenangkan. Aku masuk ke dalam lift dan turun menuju lobi. Aku bahkan tidak sempat membalas sapaan beberapa karyawan yang berpapasan denganku.

Setelah menghirup udara segar dari angin yang berhembus di halaman kantor waktu itu, aku akhirnya memberanikan diri untuk mengambil ponselku dan menghubungi sebuah kontak yang selalu berada di urutan atas pada log panggilan. Aku semakin kalut ketika panggilan pertamaku tidak terjawab. Aku mencoba sekali lagi sambil berjalan menjauhi tempat itu.

Aku bisa saja salah. Aku mungkin terlalu banyak menonton film atau membaca buku-buku aneh. Kora bilang dia menyukaiku. Kora bilang ia ingin menghabiskan waktunya bersamaku. Kora bilang…

“Halo?”

Aku berusaha tenang, tapi suaranya membuat kakiku gemetaran. Aku merasa begitu takut.

“Kau masih bekerja?” Tanyaku dengan tenggorokan yang tercekat. Bahkan suaraku terdengar aneh di telingaku sendiri.

Kora tidak langsung menyahut. Ada jeda sebelum akhirnya aku mendengar hembusan nafas.

“Iya. Aku sepertinya akan keluar kantor 15 menit lagi.”

Sebuah isakan berhasil lolos dari mulutku sementara cairan panas mengalir dari kedua sudut mataku. Kora sepertinya merasa ada yang salah ketika ia kemudian memanggil namaku.

“Reira?”

Aku membungkam mulutku dengan telapak tanganku. Kenapa aku harus membuat bangau kertas itu sejak awal?

“Jawab pertanyaanku ini dengan jujur…” Hidungku sudah tersumbat karena ingus yang terkumpul di sana. Perutku rasanya teraduk. Tapi aku tidak bisa menyerah sekarang. Setidaknya aku harus mendengar jawaban itu langsung dari Kora.

“Apa kau benar-benar hanya berteman dengan Ervin?” Kedua kakiku akhirnya tidak mampu lagi menopang berat tubuhku ketika aku jatuh berjongkok di trotoar jalan di depan kantor waktu itu.

Lagi-lagi Kora menawarkan jeda dan kebisuannya itu adalah jawaban bagiku.

“Kenapa kau melakukan hal ini padaku?” Aku tidak lagi menutupi isakan demi isakan yang keluar dari mulutku. Beberapa orang yang berlalu lalang di depanku sempat melirik padaku sejenak sebelum melanjutkan perjalanan mereka.

“Kau tidak perlu lagi menghubungi aku.”

Panggilan telepon itu aku tutup. Aku bisa merasakan asinnya air mata yang masuk ke dalam mulutku. Aku tidak langsung berdiri atau menyeka cairan yang berjatuhan dari mataku itu. Aku hanya berjongkok di sana sambil pundakku sesekali berguncang karena isakan.

Setelah tinggal di sana selama beberapa menit, aku akhirnya bangkit dan memberhentikan sebuah taksi. Aku sebutkan alamat rumahku ketika masuk dan duduk di kursi penumpang. Supir taksi itu mengawasiku dari cermin yang memantulkan wajahku. Aku terus menangis selama perjalanan itu tanpa bisa menahannya lagi.

.

.

.

Aku selalu percaya bahwa setiap orang berhak untuk menyukai siapa pun. Aku tidak pernah mempertanyakan bagaimana dua orang bisa jatuh cinta pada satu sama lain. Yang tidak aku mengerti adalah bagaimana seseorang bisa mengungkapkan perasaan suka pada orang lain jika ia tidak benar-benar merasakannya. Bagaimana seseorang bisa dengan mudahnya menghancurkan orang lain agar ia sendiri bisa bahagia.

Julukan untuk seseorang yang selalu berpikiran dan bersikap positif itu rasanya tidak cocok bagiku. Mungkin aku yang selama ini telah salah mengartikannya. Mungkin aku hanya seseorang yang terlalu pengecut untuk berkonflik dengan pikiran-pikiran negatif di kepalanya. Tapi apakah hal itu kemudian membuatku layak untuk mendapatkan semua ini?

Seribu bangau kertas itu telah mengabulkan permintaanku. Aku melihat diri Kora yang selama ini ia tutupi—atau aku yang terlalu buta untuk melihatnya. Seribu bangau itu telah mengabulkan permintaanku dengan menunjukkanku sesuatu yang pahit, hanya agar aku kemudian terbebas.

Beberapa pesan singkat dari Kora berhasil masuk ke dalam ponselku ketika aku sedang membakar seribu bangau kertas yang aku buat selama dua Minggu itu. Kora mengucapkan permintaan maaf dan memintaku untuk tidak menyebarkannya pada orang lain. Ia bahkan tidak menanyakan apakah keadaanku baik-baik saja, tapi toh pertanyaan itu juga tidak akan mengubah apapun.

Seribu bangau itu telah berubah menjadi abu, membawa serta pengharapanku saat membuatnya.

.

.

.

END.

Dengan cinta,

.kurntia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *