Sore itu, hujan turun dengan derasnya. Perkiraan cuaca dari internet yang meramalkan hari ini akan cerah ternyata meleset. Tampaknya hal itu menambah daftar kesialan Samin yang pagi tadi harus mendorong motornya ratusan meter menuju bengkel karena mendadak mati di tengah jalan. Motor yang telah membantunya pulang-pergi dari rumah menuju tempat kerja selama lima tahun terakhir itu akhirnya harus menginap di bengkel karena ternyata kerusakannya cukup parah. Samin harus memutuskan untuk pulang ke rumah naik kendaraan umum apa sore ini. Awalnya, ia berpikir untuk mencoba ojek online dari sebuah aplikasi, namun setelah dihitung-hitung, tarifnya cukup mahal untuk seorang karyawan bank swasta sepertinya. Bukannya pelit, namun Samin adalah orang yang cukup hati-hati dalam menggunakan uangnya. Akhirnya, Samin memutuskan untuk naik bus karena selain ia tidak perlu kehujanan, juga ongkosnya yang lebih murah. Ia hanya perlu merogoh kocek kurang dari lima ribu rupiah untuk sampai di rumah.
Samin kini tengah berdiri di halte yang berada di dekat kantornya bersama calon penumpang lain. Sebelumnya ia telah membayar ongkosnya pada petugas yang berjaga di halte itu. Tas selempangnya ia sampirkan di bahu dan helm yang tadi pagi ia gunakan, kini ia tenteng di tangan kiri. Tak sampai sepuluh menit menunggu, bus yang Samin tunggu akhirnya tiba. Pada jam kerja seperti ini, ternyata penumpang bus cukup ramai. Samin menunggu sampai penumpang yang turun habis sebelum ia diizinkan masuk oleh kondekturnya. Tidak ada sisa kursi yang kosong. Samin membetulkan letak tasnya di depan perut sebelum berpegangan pada besi di atasnya. Bus mulai melaju perlahan sambil menembus derasnya hujan.
Rute yang diambil bus ini dari kantor menuju rumahnya ternyata berbeda. Jika biasanya Samin hanya membutuhkan waktu kurang lebih lima belas menit untuk sampai di rumah, kini ia sudah berada di dalam bus itu selama tiga puluh menit dan itu pun belum ada setengah perjalanan menuju tempat yang ia tuju. Beberapa halte sudah dilewati dan penumpang yang tinggal di dalam bus mulai berangsur-angsur berkurang.
Samin akhirnya melihat sebuah tempat duduk kosong. Laki-laki itu sempat memindahkan dompet yang ia letakkan di bagian belakang saku celananya menjadi ke bagian samping kirinya. Ia segera duduk bersandar sambil tanpa sadar menghela nafas panjang. Seorang gadis kira-kira berusia 25 tahunan duduk di samping kiri Samin, lalu ada bapak-bapak berusia paruh baya di samping kanannya.
“Capek ya, Mas?”
Samin awalnya mengira gadis itu berbicara pada orang lain, tetapi mengingat di deretan itu hanya diperuntukkan untuk tiga orang, dan bapak-bapak itu juga tidak menyahut, Samin baru sadar bahwa ia yang dimaksud ‘Mas’ oleh gadis itu.
“I-iya.” Jawab Samin sambil meringis. Tidak menyangka akan ada yang mengajaknya berbicara di dalam bus itu.
Di usianya yang sudah 31 tahun ini, Samin belum berkeluarga seperti teman-temannya kebanyakan. Kekasih saja tidak punya. Samin sering dianggap pemilih dan hanya menginginkan perempuan dengan kualifikasi tinggi—entah penampilan, pendidikan atau pekerjaannya. Padahal, Samin belum memiliki seorang pendamping karena ia memang belum menemukan orang yang cocok. Ia canggung, tidak banyak bicara dan kalau mantan-mantannya yang mengatakan—tidak peka. Ia sudah beberapa kali diputuskan oleh kekasihnya karena dianggap cuek dan tidak perhatian. Mungkin Samin memang belum menemukan orang yang tepat saja.
Menurut Samin, gadis di dalam bus itu cantik. Entah kenapa ia perlu menilainya seperti itu. Tapi itulah kesan pertama yang sanggup ia utarakan dalam hati. Gadis itu mengenakan sebuah kaos berwarna hitam dengan gambar tengkorak yang terbelah di bagian dadanya. Samin tanpa sengaja menjatuhkan pandangannya pada bagian itu—yang kemudian ia sesali. Rambut gadis itu panjang tergerai, hanya ada satu anting-anting di telinga kirinya. Wajahnya bersih tanpa make up dan celana jean’snya robek-robek di bagian paha. Samin tidak ingin mengadili gadis itu bahkan di dalam hatinya, apa yang gadis itu kenakan bukan urusannya.
“Turun di mana, Mas?” Tanya gadis itu lagi.
Samin mengatakan tempat tujuannya kemudian sibuk berpikir apakah ia harus mengembalikan pertanyaan yang sama pada gadis itu atau tidak.
“Mbaknya sendiri?” Samin memutuskan untuk melakukannya.
Gadis itu tersenyum manis. Lesung pipit mencekung di pipi kanannya.
“Satu halte lagi.” Jawabnya. “Kerja di mana, Mas?”
Percakapan itu kemudian berlanjut pada pertanyaan basa-basi lainnya. Samin baru tahu—dan sadar bahwa mengobrol dengan orang asing seperti ini lumayan menyenangkan juga. Ia seperti tidak mempunyai beban apapun untuk menceritakan beberapa hal tentang dirinya. Mungkin karena Samin berpikir ia tidak akan pernah bertemu gadis itu lagi, atau memang gadis itu memiliki keahlian untuk menjaga percakapan agar tetap berjalan. Seandainya Samin sebanyak bicara ini—atau senyaman ini ketika mengobrol dengan kekasih dan kenalan-kenalan wanitanya dulu, mungkin Samin sudah menikah sekarang. Ia tidak akan dicampakkan seperti biasanya.
Bus akhirnya berhenti di sebuah halte yang berada di dalam terminal bus antar kota. Gadis itu berpamitan dan melemparkan senyuman manisnya untuk Samin sebelum berjalan menuju pintu bus bersama beberapa penumpang lainnya. Sebelumnya Samin sempat ragu-ragu apakah ia sebaiknya meminta nomor ponsel gadis itu atau tidak. Tapi ia merasa tidak mempunyai alasan yang tepat untuk melakukannya. Ia juga belum tahu apakah gadis itu masih lajang atau tidak—karena mereka belum sempat membicarakannya tadi. Lalu apakah gadis itu akan memberikannya atau tidak, Samin terlalu banyak pertimbangan. Mungkin itu juga salah satu sebab ia selalu gagal dalam hal percintaan.
Tapi Samin selalu percaya bahwa ia tetap dipertemukan dengan jodohnya nanti. Ia hanya perlu berusaha lebih keras. Mungkin sebaiknya ia naik bus seperti ini lagi besok. Siapa tahu ia akan bertemu dengan gadis itu lagi. Samin bahkan berjanji dalam hati untuk menyiapkan bahan obrolan yang lebih baik jika mereka diberi kesempatan untuk bertemu suatu hari nanti—tak lupa juga untuk meminta nomor ponselnya, atau setidaknya akun media sosialnya. Gadis itu pasti punya salah satunya.
“Mas, Mas, tengok’en lho dompetmu.” (Mas, Mas, lihat dompetmu.). Bapak-bapak yang sedari tadi terdiam di samping kanannya itu membuka suara. Ia menggunakan bahasa jawa untuk berbicara padanya.
Samin awalnya mengernyit. Apa urusannya menanyakan dompet seperti itu? Tapi Samin menurut dan memeriksa saku kirinya. Tempat itu kosong.
“Mbak e mau i lho copet, Mas. Aku wedi ameh ngelikke njenengan wong ketoke syahdu temen le ngobrol. Iku mau sak gerombolan komplotane.” Bapak-bapak itu menjelaskan.
(Mbaknya tadi itu copet lho, Mas. Saya takut mau mengingatkan karena kalian terlihat asyik sekali mengobrol. Itu tadi satu gerombol komplotannya.)
Samin mulai panik. Ia tidak ingin begitu saja mempercayai tuduhan bapak-bapak itu pada gadis yang mengobrol dengannya tadi. Lalu bagaimana bapak-bapak itu tahu? Samin kemudian berusaha untuk berbicara dengan kondektur bus, namun ia menjelaskan bahwa bus itu tidak bisa berhenti sembarangan atau berbalik ke halte yang mereka lewati tadi. Sang kondektur menyarankan Samin untuk melapor ke polisi dan berusaha ikhlas.
Samin tertegun. Setelah kemalangan yang ia terima dengan bertubi-tubi hari ini, sepertinya kejadian ini yang paling ia sesali. Ia merasa konyol dan menyedihkan. Bagaimana ia bisa lengah begitu saja. Karena ternyata selain dompetnya yang raib, hatinya pun sukses gadis itu curi.
.kurntia.