Beberapa waktu lalu gue sempet ikutin thread di twitter yang bahas tentang kecenderungan masa kini dimana orang maunya ngomong dan jarang mau dengerin orang lain ngomong. Di platform sosmed lain, salah satu temen bahas hal ini juga. Dia liat dari sisi yang menurut gue menarik. Jadi doi kira-kira bilang gini, kecenderungan orang buat lebih suka ngomong daripada dengerin tercermin dari banyaknya kelas public speaking tapi nggak ada (atau dikit banget) kelas deep listening. Di akhir postingannya, doi minta dikabarin kalo ada yang tau kelas listening. Whenever I talk about listening, angan gue akan terbang ke tahun 2015, saat gue pertama kenalan dengan puisi “Please Hear What I’m Not Saying” karya Cardinal Deardon, si Deardon ini ‘ngegambarin orang yang berusaha buat diterima bahkan sampe dia pretending to be okay, sok tegar, dan sok cool gitu. Padahal doi sesungguhnya begitu rapuh. Karakter I dalam puisi ini membentengi diri dengan kemasan cool, supaya dia diterima sama lingkungan sekitarnya. Tapi jauh di lubuk hatinya dia capek, dia pengen diterima apa adanya dia, tapi kalo dia nunjukin diri dia yang sebenernya, dia takut orang-orang ga bakal nerima dia.
Kerinduan setiap manusia adalah diterima apa adanya
Jadi gue dapet puisinya si Deardon ini karena gue ikut ToT (Training of Trainer) buat jadi junior konselor gitu. Aktivitas yang harus gue lakuin paska ToT adalah dengerin orang cerita. Trainer gue waktu itu berulangkali bilang bahwa, saat jadi junior konselor nanti tugas utama gue adalah mendengarkan cerita bukan mendengar cerita. This may sound similar but it’s totally different. Mendengarkan means put maximum effort while we are listening to a story (sengaja, intensional), while mendengar means nggak sengaja denger cerita sambil lalu (non-intensional). Ada banyak orang kesepian di dunia ini dan yang mereka rindukan hanya di dengarkan. Tapi hal yang paling penting untuk di dengarkan adalah hal yang tidak diungkapkan. Makanya dalam puisinya si Deardon dibilang “please listen to what I am not saying,”
Dalam beberapa kasus gue ketemu orang yang ‘ngerasa dirinya fine-fine aja, merasa nggak punya beban hidup, atau kebanyakan yang bilang “gue punya pengalaman nggak enak sih, tapi gue udah biasa aja kok. Gue udah move on,” tapi pas bilang ini matanya kembeng-kembeng, atau tangannya mengepal kek pengen nonjok orang, atau urat lehernya tegang semua. Nah kalo udah ketemu yang kayak gini gue biasa punya catatan sendiri dan mesti put more effort and attention dalam nemenin dia. Body language di atas itu semacam early warning kalo deep down his/her heart dia belum move on dari peristiwa itu.
Tokoh I (aku) dalam puisi Deardon adalah gambaran masing-masing dari kita. Dalam satu masa dalam hidup (bisa jadi juga sekarang cuman kita nggak sadar aja), kita pernah having poker face to survive. Biar tokoh I kayak dalam puisi itu bisa berkurang pelan-pelan, masing-masing dari kita ditawarkan untuk menjadi pendengar suara-suara yang tidak dikatakan (to be the listener of what is not being said).
Mungkin lu bakal bertanya, caranya gimana Gen? nah ini panjang nih jawabannya, tapi coba deh mulai sekarang kalo lagi dengerin orang cerita, taro 100% perhatian kita ke ceritanya dia. Dengerin aja, ga usah sok sokan mau ngasih tanggapan apalagi saran. Karena sesungguhnya yang dia perlukan Cuma di dengarkan aja. So just listen, that’s what needed the most.
FYI, sebelum gue rilis tulisan ini gw update puisinya si Deardon di instastory. Beberapa orang sampe nanyain kenapa status gue galau berhari-hari. Bahkan ada yang nuduh gue patah hati gegara ditinggal nikah. Batin gue “bukan ditinggal nikah woy, tapi ditinggal **** ” intinya dalam nyiapin rilis tulisan ini ada pengalaman lucu agak kocak yang gue alamin. Yang penasaran puisinya bisa googling or hit me on comment to share it.