Tiap kali denger atau baca kata “detachment” mau nggak mau otak gue memanggil ingatan sebuah film yang judulnya sama, yang main Adrien Brody. Tapi sekarang ini gue lagi nggak pingin ngobrolin tentang film. Gue lagi pengen ngobrolin tentang arti dan esensi dari ‘detachment’ sendiri.
Detachment diambil dari kata detach yang artinya melepaskan. Nih ya, kalo kita ngirim email kan ada opsi “attach” tu yang artinya kita bisa ngelampirin file di email kita, detachment lawan katanya. Detachment bukan cuma berguna buat lepas melepas lampiran dalam email, tapi juga buat “melepaskan” lampiran-lampiran dalam hidup. Kita seringkali nggak sadar bahwa kita menjerumuskan diri dengan menjadikan diri kita seolah-olah menyatu dengan ‘aksesori’ dalam hidup misal, pekerjaan, peran tertentu dalam masyarakat, padahal sesungguhnya kita punya pilihan untuk melepaskan aksesori itu dan memakainya saat tertentu aja.
Contohnya gini deh, di suatu masa gue pernah kerja sebagai customer service. Di dalam bendelan kontrak kerja gue, ada satu surat pernyataan yang isinya kurang lebih mengatur kalo gue nggak boleh sembarangan reveal identitas gue sebagai customer service untuk perusahaan ini. Aturan turunan dari perjanjian ini adalah dalam bersosial media gue nggak boleh cantumin nama, atau pas posting foto nggak boleh ada identitas perusahaan keliatan, apalagi tag lokasi. All should be anonymous. Pada waktu itu gue mikirnya “aelah ribet amat dah, lebay bener ni perusahaan, ampe punya banyak energi buat sweeping medsos karyawannya”
Penjelasan dari orang kantor gue dulu adalah, “We want to protect your privacy,” alias semua keribetan itu sebenernya buat kepentingan kita-kita juga pegawainya. Kok bisa? Jadi gini penjelasannya, lu kerja kan cuma 8 jam sehari, itu artinya lu menjadi CS ya cuma selama 8 jam itu doang. Sisanya lu bukan CS. Ketika lu reveal identitas lu sebagai CS, dan banyak orang tau, lu akan menjadi CS lebih panjang dari 8 jam itu. Misal lu lagi jalan, trus ketemu classmates jaman kuliah atau sekolah, kalo dia tau lu CS suatu perusahaan trus kebetulan dia pake jasa si perusahaan ini, apesnya lagi dia lagi ada trouble sama servicenya, bisa aja dia nanya ke lu atau parahnya marah-marah ke lu. Padahal lu nggak tau apa-apa, dan posisinya lu ketemu dia bukan saat lu kerja. Lagipula, satu hal yang perlu dipahami, orang dateng ke CS tu ya karena dia punya trouble, dan sayangnya nggak semua solusi dari trouble itu memuaskan pelanggan (karena si pelanggannya yang salah atau lalai), bisa aja dia nggak terima tapi pake cara-cara tongkrongan buat menyelesaikan masalah kan? Jadi demi keselamatan bersama let’s stay anonymous.
Tapikan Gen, kalo yang ditakutin kek itu (jam kerja yang jadi kabur), selama kita emang bisa bantu kenapa nggak? Ini nih bedanya kerja ama bule. Oya mundur dikit, jadi perusahaan tempat gue kerja waktu itu kebetulan multinasional. Pusatnya di yurep sono. Balik ke masalah bos bule. Mereka sangat strict masalah jam kerja, ketika lu ngerjain kerjaan di waktu libur, lu itungannya overtime. Yang artinya mereka harus kasih kompensasi. Ketika mereka nggak mau ngasih kompensasi, ya mereka nggak akan bolehin lu nyentuh kerjaan di luar jam kerja. Jaman kuliah gue pernah kerja part time doing house chores gitu, bos gue bule juga. Suatu ketika gue lagi nyetrika korden yang abis dicuci. Karena nanggung tinggal selembar doang, tapi jam kerja gue udah abis, gue pikir yaudah gue kelarin aja dah. Tau nggak bos gue marah-marah. Doi marah karena gue pulang telat, doi bilang, “You work from 8 to 2, so at 2 whatever happen you should leave. Cause when you stay longer than that, I need to compensate it to you,” waktu itu gue heran, gue nyelesaiin kerjaan kok dimarahin. Baru gue sadar bertahun-tahun kemudian kalo dia begitu karena dia nggak mau hidup gue terbelenggu (waks bahasa gue) dalam kerja.
At the end of the day, it is me who walk with me. Dari dua pengalaman ini gue belajar bahwa penting banget untuk memisahkan alias detach dari peran-peran gue dan jadi diri gue aja.